Powered By Blogger

fotoku

Rabu, 16 Desember 2009

sistem pemerintahan

SISTEM PEMERINTAHAN ADALAH JATI DIRI BANGSA
Prof. Dr. Sofian Effendi
Rektor Universitas Gadjah Mada
Pengantar
Jati diri suatu bangsa bukan saja dapat kita lihat dari bagaimana karakter pokok
dari para warga bangsa, tetapi juga dari pilihan ideologi dan sistem pemerintahan yang
dipilih oleh bangsa tersebut. Topik yang hendak saya bahas pada kesempatan ini adalah
sistem pemerintahan demokratis-konstutusional bagaimanakah yang telah dirancang oleh
the founding fathers dalam UUD 1945? Masalah sistem pemerintahan tersebut saya
pandang perlu kita wacanakan kembali karena selama ini pemahaman kita tentang bentuk
dan susunan pemerintahan negara hanyalah didasarkan pada sumber-sumber sejarah yang
diragukan keotentikannya. Setelah MPR-RI 1999-2004 melakukan amandemen UUD
1945 sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 2 tahun dan menetapkan sistem pemerintahan
presidensial sebagai sistem pemerintahan negara, perlu kita pertanyakan apakah sistem
pemerintahan presidensial tersebut yang ditetapkan oleh pimpinan dan anggota BPUPK
dan PPKI yang kemudian disahkan sebagai UUD 1945, Konstitusi Pertama NKRI?
Kalau konstitusi suatu negara dapat diibaratkan sebagai rel yang akan membawa
bangsa tersebut ke tujuan yang dicita-citakannya, apakah cita-cita para pendiri negara
bangsa untuk membentuk pemerintahan negara konstitusional yang demokratis serta yag
sesuai dengan corak hidup bangsa dapat tercapai apabila rel tersebut setiap kali diubah
arahnya dan dibelokkan? Kondisi itulah yang sedang dialami bangsa Indonesia saat ini
setelah MPR mengadakan amandemen terhadap UUD 1945.
Teori Sistem Pemerintahan
Sejak abad pertengahan para ahli politik sudah telah berusaha menyusun
klasifikasi bentuk-bentuk pemerintahan demokratis, tapi baru sebatas diskursus tentang
sistem parlementer dan sistem presidensial. Dalam bukunya yang amat berpengaruh „The
Analysis of Political Systems“, Verney (Routledge & Kegan Paul, 1979), menguraikan
dua sistem pemerintahan yang paling popular dan paling banyak digunakan di negaranegara
konstusional demokratis. Dalam diskursus ilmiah tentang sistem pemerintahan
Inggeris selalu dipandang sebagai contoh pemerintahan parlementer, dan Amerika Serikat
sebagai model pemerintahan presidensial. Duverger (EJPR, 8/2, Juni 1980) kemudian
memperkenalkan bentuk pemerintahan ketiga, Sistem semipresidensial, dan Blondel
(Kavanagh dan Peele, Eds., London, Heinemann, Boulder, 1984) memperkenalkan sistem
semipresidensial ganda (semi-presidential dualist system).
(1) Sistem parlementer.
Sistem parlementer sebagaimana diterapkan di Inggeris tidak mengenal pemisahan
kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Pada abad XVI sebagai reaksi
terhadap kekuasaan Raja James I yang hampir absolut, terbentuklah pemerintahan
parlementer diawali dengan berdirinya lembaga perwakilan rakyat (assembly) yang
secara bertahap mengambil alih kekuasaan legislatif dari tangan Raja. Tetapi,
kekuasaan eksekutif tetap berada pada Raja. Dalam perkembangan selanjutnya,
kekuasaan eksekutif Raja mulai diserahkan kepada menteri-menteri yang diangkat
2
dari antara anggota-anggota badan perwakilan. Karena para menteri harus
betanggunjawab kepada badan perwakilan, lambat laun kekuasaan badan
perwakilan bertambah besar dan ditetapkan sebagai pemegang kedaulatan negara.
Para menteri secara kolektif, atau Kabinet, harus betanggungjawab kepada badan
legislatif dan adalah bagian dari badan tersebut. Karena itu dalam sistem
parlementer tidak ada seperation of power, tetapi yang ada adalah fusion of power
antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan eksekutif. Dengan kata lain, sistem
parlementer adalah sistem politik yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga pemengang kedaulatan rakyat yang
bernama Parlemen.
Pada sistem parlementer cabang eksekutif dipimpin oleh Kepala Negara,
seorang Raja dalam negara monarki konstitusional atau seorang Presiden dalam
republik, dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Kepala Pemerintahan
ditunjuk oleh Kepala Negara dan para menteri diangkat oleh Kepala Negara atas
usul Kepala Pemerintahan, Kabinet, yang terdiri dari Perdana Menteri dan para
menteri, adalah lembaga kolektif, karena perdana menteri adalah orang yang
pertama dari sesama (primus inter pares) sehingga tidak dapat memberhentikan
seorang menteri. Tapi dalam kenyataannya perdana menteri selalu memilki
kekuasaan yang lebih besar dari para menteri.
Perdana menteri dan para menteri biasanya adalah anggota parlemen dan
secara kolektif bertanggungjawab kepada badan legislatif. Pemerintah atau kabinet
secara politis bertanggungjawab kepada parlemen. Untuk menghindarkan
kekuasaan legislatif yang terlalu besar atau diktatorial partai karena mayoritas partai
yang terlalu besar, kepala pemerintahan dapat mengajukan usul kepada kepala
negara untuk membubarkan parlemen. Salah satu karakteristik utama sistem
parlementer yang tidak dimiliki oleh sistem presidensial adalah kedudukan
parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di atas badan perwakilan dan
pemerintah (supremacy of parliament). Dalam sistem parlementer pemerintah tidak
berada diatas badan perwakilan, dan sebaliknya badan perwakilan tidak lebih tinggi
dari pemerintah.
Karena perdana menteri dan para anggota kabinet tidak dipilih langsung oleh
rakyat, pemerintah parlementer hanya bertanggungjawab secara tidak langsung
kepada pemilih. Karena itu, dalam pemerintahan parlementer tidak dikenal
hubungan langsung antara rakyat dengan pemerintah. Hubungan itu hanya
dilakukan melalui wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat.
Parlemen sebagaipemegang kekuasaan tertinggi yang merupakan pusat
kekuasaan dalam sistem politik harus selalu mengusahakan agar tercapai dinamika
hubungan politik yang seimbang antara badan legislatif dan badan eksekutif. Dalam
parlemen ini lah kader-kader pimpinan bangsa digembleng sebelum suatu hari
mendapat kesempatan menjadi pemimpin negara.
(2) Sistem presidensial
Diskusi tentang pemerintahan presidensial biasanya tidak selalu dikaitkan
dengan teori pemisahan keuasaan (seperation of powers) yang amat populer pada
abad XVIII ketika Konstitusi Amerika Serikat disusun. Dua ahli politik yang amat
berpengaruh pada masa itu adalah John Locke yang terkenal dengan pandangannya
bahwa konflik berkepanjangan antara raja Inggeris dengan parlemen adalah dengan
3
memisahkan secara tegas raja sebagai kekuasaan eksekutif dengan badan
perwakilan sebagai kekuasaan legislatif. Kedua kekuasaan itu harus dipisahkan
dengan tegas dan masing-masing mempunyai bidang kekuasaan masing-masing.
Montesquieu, seorang pengamat sistem pemerintahan Inggeris asal Prancis, ternyata
membuat kesimpulan yang salah, dan menyimpulkan bahwa sistem parlementer
Inggeris adalah amat baik karena memisahkan kekuasaan negara menjadi kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan seperti itulah yang disebutnya trias
politica, yang selama 2 abad masih dipandang sebagai bentuk pemisahan kekuasaan
yang paling baik dan benar. Trias politica ini digunakan oleh Panja Amandemen
UUD 1945 yang dibentuk MPR sebagai landasan teoritis ketika melakukan
perubahan terhadap sistem pemerntahan negara Indonesia sebagaimana ditetapkan
pada Pasal 1 ayat (2).
Dilandasi oleh teori pemisahan kekuasaan dan didorong oleh keinginan yang
kuat untuk menentang sistem parlementer yang dipandang sebagai budaya negara
kolonial Inggris, sistem presidensial Amerika memisahkan secara tegas tiga cabang
kekuasaan. Karena itu karakteristik pertama sistem presidensial adalah badan
perwakilan tidak memiliki supremacy of parliament karena lem baga tersebut bukan
lembaga pemegang kekuasaan negara.
Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, baik secara
langsung atau melalui perwakilan, untuk masa kerja tertentu, dan presiden
memengang sekaligus jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sebagai
kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri negara, yang berfungsi sebagai pembantu
presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidang masing-masing. Dalam
sistem presidensial, kabinet tidak bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap
menteri bertanggungjawab secara individual kepada presiden.
Dalam sistem presidensial, anggota badan legislatif tidak boleh merangkap
jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh merangkap
menjadi anggota badan legislatif. Namun, pemisahan personala cabang eksekutif
dan legislatif tidak selalu diterapkan disemua negara yang menggunakan sistem
presidensial. Di beberapa negara menteri diangkat sebagai anggota parlemen. Pada
pemerintahan Orde Baru, para anggota Kabinet juga adalah anggota MPR, lembaga
pemegang kedaulatan negara yang lebih kurang sama dengan parlemen dalam
sistem parlementer.
Presiden bertanggungjawab bukan kepada pemilih, tetapi kepada Konstitusi.
Dia dapat di-impeach apabila melangar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan
karena tidak dapat memenuhi janjinya pada kampanye pemilu. Presiden dan badan
perwakilan rakyat mempunyai kedudukan yang setara, karena itu tidak dapat
salaing menjatuhkan. Dalam bahasa UUD 1945, Presiden adalah „neben“ bukan
„geordenet“ dari DPR, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan.
Dalam teori, sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi satu
cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan,
legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap cabang lainnya
sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the
constitution. Cuma, dalam praktek, legislatiflah yang nyatanya memegang
kekuasaan lebih tinggi.
4
(3) Sistem semipresidensial
Sistem semi-presidensial adalah bentuk pemrintahan negara yang mencoba
mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer mau pun sistem presidensial.
Kelemahan pokok sistem parlementer ialah sifatnya yang sangat tidak stabil karena
setiap saat pemerintah, baik seluruh kabinet mau pun setiap menteri, dapat
menerima mosi tidak percaya dari parlemen. Akibatnya pemerintah jatuh dan terjadi
pergantian pemerintah. Selama 4 tahun menggunakan sistem parlementer, Indonesia
mengalami pergantian pemerintah sebanyak 33 kali (Feith, 1962).
Sistem presidensial mengandung kecenderungan konflik permanen antara
cabang legislatif dan cabang eksekutif, terutama bila presiden terpilih tidak
didukung oleh partai mayoritas yang berkuasa di parlemen. Padahal negara-negara
baru yang tradisi demokrasinya belum terkonsolidasi dengan mantap selalu
menghadapi kondisi seperti ini. Selain itu, kekuasaan yang besar ditangan presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tunggal, selalu menggoda presiden untuk
memperpajang masa jabatannya, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan
otoriter. Ekses seperti itu dialami oleh banyak negara di Amerika Latin, Afrika dan
Asia termasuk Indonesia yang menggunakan sistem presidensial.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan edua sistem tersebut, pada awal Abad
20 berkembang model ketiga sistem pemerintahan yang oleh Duverger disebut
sistem semi-presidensial. Sistem politik ketiga ini memiliki beberapa karakteristik
sistem parlementer dan sistem presidensial. Ciri utama sistem semipresidensial
adalah sebagai berikut: (a) pusat kekuasaan berada pada suatu majelis perwakilan
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi; (b) penyelenggara kekuasaan legislatif
adalah suatu badan perwakilan yang merupakan bagian dari majjelis perwakilan; (c)
presiden dipilih secara langsung atau tidak langsung untuk masa jabatan tertentu
dan bertanggungjawab kepada majlelis perwakilan; (d) para menteri adalah
pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Kalau kita perhatikan uraian yang diberikan oleh Dr. Sukiman pada rapat
BPUPK pada tanggal 15 Juli 1945 dan keteranga Prof. Soepomo pada rapat PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 beberapa saat menjelang pengesahan UUD 1945, jelas
sekali sistem pemerintahan negara Indonesia yang diikuti oleh UUD pertama
Indonesia tersebut adalah sistem semipresidensial. Menurut Blondel, pada
pertengahan 1940-an, hanya ada 6 negara baru merdeka yang menggunakan sistem
semipresidensial ganda – yang memiliki presiden sebagai kepala negara dan
perdana menteri atau menteri pertama sebagai kepala pemerintahan - yakni
Finlandia, Lebanon, Siria, Peru, Indonesia, dan Korea Selatan. Sekarang model
tersebut semakin populer dan digunakan di banyak negara, karena dipandang
sebagai bentuk pemerintahan demokratis yang lebih stabil dan lebih efektif di
negara yang memiliki multi partai politik.
Di negara-negara Amerika Latin, diterapkan model semipresidensial yang
mempunyai lebih banyak karakteristik sistem parlementer seperti: (a) para menteri
dapat menghadiri sidang parlemen; (b) parlemen melakukan impeachment atau
memberi mosi tidak percaya kepada menteri atau kabinet; atau (c) perdana menteri
diangkat dari dan oleh parlemen. Kantor (Dalam DiBacco, ed., New York, Praeger,
1977) memperkenalkan varian sistem pemerintahan keempat, yang lebih banyak
mengandung ciri-ciri sistem parlementer, kecuali ada pemisahan kekuasaan dan
5
kepala negara yang terpilih untuk masa bakti tertentu, dan menamakannya sistem
semi-parlementer atau quasi parlementer.
Negara Kekeluargaan1
Pembentukan negara-negara moderen tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya
dua faham atau mazhab pemikiran tentang hubungan negara dengan warga negara.
Penindasan para raja – yang seringkali mempersonfikasikan diri sebagai negara, l’etat
c’est moi -- selama berabad-abad di Eropah telah mendorong kelahiran Gerakan
Renaissance, yang memberikan pengakuan hak individu dari setiap warganegara. Faham
individualisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke. Jean Jacques
Rousseau, Herbert Spencer, dan H.J. Laski, telah mewarnai seluruh aspek kehidupan
bangsa-bangsa Barat dan menjadi nilai dasar dari sistem politik demokrasi yang
berkembang, setelah bangsa-bangsa tersebut mengalami penindasan oleh para penguasa
absolut dalam negara monarki absolut. Menurut faham individualisme, negara ialah
masyarakat hukum yang disusun atas dasar kontrak antara seluruh individu dalam
masyarakat (social contract).
Aliran kedua adalah faham kolektivisme, yang tidak mengakui hak-hak
dan kebebasan individu, beranggapan persatuan yang dilandaskan pada ikatan kesamaan
ideologi atau keunggulan ras sebagai dasar dalam penyusunan negara yang terdiri atas
pimpinan atau partai sebagai suprastruktur dan masyarakat madani sebagai struktur.
Faham kolektivisma kemudian cenderung berkembang menjadi pemerintah diktator
totaliter seperti dialami bangsa Jerman di bawah Hitler, Uni Soviet di bawah
pemerintahan komunis, Italia di bawah Mussolini, dan RRC di bawah pimpinan Mao Zedong.
Faham kolektivisme mempunyai beberapa cabang pemikiran, diantaranya yang
dikenal sebagai teori kelas (class theory) yang dikembangkan oleh Marx, Engels dan
Lenin. Negara dianggap sebagai alat oleh suatu kelas untuk menindas kelas yang lain.
Negara ialah alat golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat untuk menindas
golongan atau kelas ekonomi lemah. Negara kapitalistik adalah alat golongan bourgeoisi
untuk menindas kaum buruh, oleh karena itu para Marxis menganjurkan revolusi politik
kaum buruh dan kelompok tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan negara dan
menggantikan kaum bourgeoisi. Cabang yang lain adalah seperti yang diajarkan oleh
Spinoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai teori integralistik.
Menurut pandangan teori ini, negara didirikan buknalaah untuk menjamin kepentingan
individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu
kesatuan. Negara adalah suatu masyarkat yang integral, segala golongan, bagian dan
anggotanya satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan masyarakat yang organis Yang
terpenting dalam kehidupan bernegara menurut teori integral adalah kehidupan dan
kesejahteraan bangsa seluruhnya.
Harus kita fahami, gerakan kemerdekaan Indonesia memandang faham
individualisme yang dipeluk oleh bangsa-bangsa Barat adalah sumber dari kapitalisme,
kolonialisme/imprealisme yang mereka tentang habis-habisan. Para founding fathers
nampaknya mempunyai interpretasi yang berbeda tentang faham kekeluargaan. Bung
Karno yang menangkap kekeluargaan bangsa Indonesia lebih dari dinamika dan
1 Uraian lengkap tentang konsep Negara Kekeluargaan dapat dibaca dalam tulisan Dr. Bur Rsuanto,
“Negara Kekeluargaan: Soepomo vs Hatta” dalam Kompas, 1999.
6
semangatnya. Hatta memaknai kekeluargaan secara etis. Sedangkan Prof. Soepomo
menafsirkan kekeluargaan lebih sebagai konsep organis-biologis. Hampiran metateoretikal
yang berbeda tersebut menghasilkan interpretasi yang berbeda pula tentang
konsep kekeluargaan. Bung Karno menginterpretasikan kekeluargaan sebagai semangat
gotong royong, Bung Hatta memandang kekeluargaan secara etis sebagai interaksi sosial
dan kegiatan produksi dalam kehidupan desa, yang bersifat tolong menolong antar
sesama.
Dasar dan bentuk susunan susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat
dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa. Karena itulah setiap negara
membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik,
hukum dan struktur sosialnya. Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo dalam rapat
BPUPK tanggal 31 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indnesia
yang akan dibentuk “… harus berdasar atas aliran fikiran negara yang integralistik,
negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongangolongannya
dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998: 55). Dalam negara yang
integralistik tersebut, yang merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia,
menurut Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib
memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya. Inilah
interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara
pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut
oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong.
Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara
Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga.
Hatta, berbeda dengan Sukarno dan Soepomo, menerjemahkan faham
kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan Indonesia. Intinya
adalah semangat tolong menolong atau gotong royong. Karena itu dalam pemikiran
Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik
bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme a la
Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama.
Jadi, kolektivisme oleh Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat
produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan
Bintang, 138-144).
Demokrasi asli Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara
Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura, suatu forum untuk
musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest,
suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa. Negara kekeluargaan
dalam versi Hatta, yang disebutnya Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah
konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks moderen
(Rasuanto, Kompas, 1999). Pada negara moderen, lembaga syura ditransformasikan
menjadi majelis permusyawaratan rakyat dan badan perwakilan rakyat, tradisi massa
protest merupakan landasan bagi kebebasan hak berserikat, hak berkumpul, dan hak
menyatakan pendapat, dan kolektivisme diwujudkan dalam bentuk ekonomi nasional
yang berasaskan kekeluargaan, dalam bentuk koperasi serta tanggungjawab pemerintah
dalam menciptakan keadilan dalam kegiatan ekonomi rakyat.
Dalam perkembangan negara kekeluargaan tersebut, Hatta telah memprediksikan
akan terjadinya tarikan kearah semangat individualisme yang semakin kuat dalam segala
7
kehidupan rakyat, khususnya dalam ekonomi. Individualisme, menurut Hatta, jangan
dilawan dengan kembali ke kolektivisma tua, melainkan dengan “mendudukkan cita-cita
kolektivisma itu pada tingkat yang lebih tinggi dan moderen, yang lebih efektif dari
individualisme“ (Hatta, Demokrasi Ekonomi, UI Press, 192, 147).
Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei - 1 Juli dan dari 10 - 17 Juli 1945,
dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18-22 Agusutus
1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar
negara (Setneg, 1998: 7-147). Bung Karno, bung Hatta dan Prof. Soepomo adalah tiga
tokoh yang menyatakan pembentukan negara Repbulik Indonesia didasarkan atas corak
hidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi
kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.
Sistem “Pemerintahan Sendiri”
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem
pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut
ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan
dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.
Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem
presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam
Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.
Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi
tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yakni
legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica
oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa
kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial
para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab
kepada Presiden.
Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar
baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan membawa bangsa ini semakin dekat
dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang
demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara? Apakah sistem
pemerintahan negara yang tidak konsisten dengan harapan para perancang konstitusi
seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan menjamin kelangsungan kehidupan
bernegara bangsa Indonesia?
Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang
sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang
Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap rapatrapat
BPUPK sekitar 11 – 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat
pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita
dapat menyelami kedalaman pandangan para founding fathers tentang sistem
pemerintahan negara.
Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan
kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum
8
U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan
Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran
bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para
perancang Konstitusi Indonesia.
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945
memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa
tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis,
Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil
kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la
Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya
Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan
lagi di negara Eropah Barat.
Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai
kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer
seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem
tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang
legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya
adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai
kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.
Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru
merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial
mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat
kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga,
cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan
dengan semangat dbemokrasi.
Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“ sesuai usulan
Dr. Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil
BPUPK. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan
sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial,
Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem
MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem
presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.
Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD
1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem
sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan
eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden adalah eksekutif
tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta
para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden,
adalah ciri dari sistem presidensial. Sistem pemerintahan khas Indonesia juga
mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus
of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen
dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR
sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa awal negara Indonesia, para
perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih
belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur
9
pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih
secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR
Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR,
sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif
(legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak
dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undangundang.
.
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18
Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh
rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat
kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR,
wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain,
MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih
sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin
pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung
Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan
negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang
tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau
assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif
tertinggi, sebagai mandataris MPR.
Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para
Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari
keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bikameral
dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi
fungsinya sebaga lwmbaga permusyawaratan perwakilan.
Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem
pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan
amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan
sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi
tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen
otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan
penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang
mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya
politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan,
MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan
eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan
legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan
eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan
Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun
presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem
parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara
berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.
10
Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para
perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik,
serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial.
Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung
secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan
bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif
kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial
kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI
menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem
pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan
ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian
besar negara-negara di dunia.
Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus
1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang
sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi:
“Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini.
Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang
dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat
adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling
tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang
menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden
dan Wakil Presiden.
Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara ...
Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah
ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama
dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan
legislatif ... „
Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan
pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada
sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila
presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para
penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem
semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem
semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal
dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala
Pemerintahan.
Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua,
untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasalpasalnya,
tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks
sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satusatunya
cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami
keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum
dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen
UUD 1945 dilakukan.
11
Mobilisasi tuntutan untuk pemurnian UUD 1945
Sekarang semakin jelas bukti-bukti yang menujukkan bahwa amandemen sistem
pemrintahan negara Indonesia yang dilakukan oleh MPR telah meyimpang dari
rancangan asli para perumus konstitusi yang berlandaskan pada kaidah dasar negara
kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat, serta penyelenggaraan demokrasi sosialekonomi
untuk mencapai kesejahteraan social, sebagaimana dicantumkan pada
Pembukaan UUD 1945. Karena itu tujuan reformasi untuk meluruskan dan memurnikan
pelaksanaan UUD 1945 dapat dipastikan tidak akan tercapai bila tidak dilakukan upayaupaya
pemurnian kembali UUD sesuai dengan staats fundamental norm nya yang
semula.
Karena itu salah satu agenda pokok yang perlu dilakukan oleh Presiden terpilih
setelah pelantikan adalah mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan kemurnian
UUD 1945 sesuai dengan kaidah fundamentilnya. Pemurnian UUD 1945 agaknya tidak
mungkin dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 2004 karena MPR yang bi-kameral tersebut
bukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Salah satu langkah konstitusional yang
dapat ditempuh adalah meminta persetujuan rakyat untuk memurnikan UUD 1945
melalui referendum.
Yogyakarta, 2 Februari 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya